Minggu, 22 Maret 2009

Menetapkan Strategi Bisnis Bioetanol

Lumrah ketika kita ingin membangun suatu bisnis yang petama-tama terbayang adalah margin (keuntungan) yang sebesarnya-besarnya. Setiap calon pelaku usaha memiliki kecenderungan untuk menjadi bagian dari gelombang pertama pada lingkup bisnis yang akan digelutinya. Pendekatan praktis yang paling sering digunakan adalah siapa yang duluan akan lebih dikenal oleh konsumen dan lebih berpotensi untuk melakukan gerak’an penetrasi pasar. Bahkan tidak heran pula jika sekarang ini berkembang feneomena instant profit.

Dari pengalaman temu-bisnis dengan para peminat investasi bisnis industri bioetanol, mulai dari Riau hingga Maluku Utara, dari investor lokal skala rumahan hingga PMA kelas menengah, kerap-kali gambaran diatas jadi issue utama diskusi. Sasaran utama yang sering mencuat kepermukaan umumnya adalah korelasi biaya investasi, modal kerja dan pencapaian BEP. Sasaran antara yang mengikutinya adalah arah transaksi pada tingkat partai atau grosir.

Bioetanol merupakan produk yang memiliki utilitas yang tinggi, karena dapat digunakan pada berbagai industri yang berbeda. Bisa digunakan untuk bahan-baku industri kimia, kosmetik, pharmasi, dan tentunya substitusi BBM. Minyak tanah dan Gas adalah sasaran paling strategis dari pemasaran bioetanol. Konversi minyak tanah ke gas membutuhkan biaya substitusi (termasuk kompensasi distribusi) yang memberatkan konsumen didaerah pinggiran kota dan pedesaaan. Harga kompor gas jauh lebih mahal dibanding kompor etanol. Resiko salah penggunaan kompor gas dan tabung elpiji jauh lebih besar dibanding kompor etanol.

Bisnis bioetanol pada basis industri rakyat (UKM) dan peran subtitusi bioetanol rasanya perlu untuk ditempatkan pada pemahaman yang lebih sederhana, ekonomis dan strategis. Memahami bahwa terdapat pasar potensial yang sangat lebar dan terbuka pada segmentasi bawah - sebagai calon konsumen yang sangat membutuhkan solusi atas keterbatasan BBM dan Gas - akan sangat mebantu dalam menyusun perencanaan bisnis industri rakyat bioetanol. Bahwa sejauh ini, setidaknya untuk sementara waktu, segmentasi menengah-atas adalah kelompok konsumen yang banyak menikmati subsidi BBM dan tidak terlalu dipusingkan dengan issue krisis BBM ataupun Gas, sehingga barangkali belum sepenuhnya ideal untuk menjadi target end-user pada saat ini. Demikian pula pasar institusi seperti industri menengah-atas maupun institusi pemerintahan.

Pada sisi aktifitas operasional, memproduksi bioetanol berkadar 75%, jauh lebih mudah dilakukan yaitu melalui proses destilasi dengan nilai investasi yang relatif terjangkau tetapi sudah sangat layak digunakan untuk kompor etanol. Memasak dengan kompor etanol menggunakan 1 (satu) liter bioetanol berkadar 75% sudah setara dengan 3 (tiga) liter minyak tanah. Dengan indikator perbandingan ini, penetapan harga jual bioetanol dalam hitungan per-liter dapat lebih disesuaikan. Bilamana 20% (saja) dari populasi masyarakat di tingkat kabupaten sebagai konsumennya, putaran omzet per-bulan dari bisnis bioetanol sudah “lumayan menguntungkan” dan fisible.

Masalahnya, banyak calon pebisnis bioetanol cenderung mengesamping aspek investasi pasar dan kurang berperan sebagai pemasar. Fokus senantiasa terarah pada aktifitas penjualan dalam batasan yang cenderung sempit (naif). Beli – Jual – Untung ! Padahal, bisnis mempunyai dimensi ilmu pengetahuan dan seni yang menyatu secara alamiah. Bila setiap aktifitas bisnis begitu mudah untuk "dilakoni", tidaklah heran jika peminatnya begitu cepat bertambah banyak. Konsekuensinya juga logis, keuntungan akan senantiasa bergerak turun. Banyak pebisnis papan-atas hanya kita kenal ketika mereka sukses. Sangat sedikit yang mengenal mereka ketika sedang berusaha membangun bisnisnya, bahkan tidak jarang hingga bertahun-tahun lamanya.

Banyak pakar manajement bisnis mengisyarakatkan bahwa PROFIT tidak lagi didapat dari sekedar hitung keuangan rugi-laba, tetapi berangkat dari seberapa efektif perbedaan dan nilai services yang bisa dirasakan oleh konsumen. Banyak studi kasus telah membuktinya. Sekedar ilustrasi, "bukan siapa yang lebih dulu start, tetapi siapa yang lebih dulu finish. Bukan siapa yang lebih besar, tetapi siapa yang lebih smart". Emc2@2009

Pemilihan Bahan Baku Bioetanol

Merujuk pada berbagai literatur dan jurnal maupun karya-karya ilmiah, ethanol/bioethanol (alkohol) dapat diproduksi dengan menggunakan bahan-baku tanaman yang mengandung pati atau karbohidrat, yaitu melalui proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) larut air. Beberapa jenis tanaman yang banyak dijumpai sebagai bahan baku produksi etanol/bioetanol antara lain; ubi jalar, ubi kayu, sorgum manis (cantel), jagung, molasse (tetes tebu - hasil samping produksi gula), dan aren (nira aren).

Namun demikian, Bank Dunia merekomendasikan sorgum manis (sorghum bicolor) sebagai bahan-baku produksi bioetanol dan tidak menyarankan penggunaan bahan-baku yang saat ini merupakan konsumsi pangan dan pakan, sehingga dikemudian hari produksi bioetanol tidak menimbulkan konflik kepentingan yang mengganggu ketersediaan pangan dan pakan yang dapat memicu terjadinya krisis pangan (dan pakan) dunia. Analogi sederhana-nya, kalo harga bioetanol bergerak naik maka niscaya harga bahan bakunya akan bergerak naik. Dan, jika bahan bakunya juga digunakan untuk bahan pangan dan pakan maka harganya akan ikut terdongkrak naik.

Bila dikaji lebih jauh dengan memperhatikan kondisi berbagai daerah di Indonesia, biaya produksi yang terkait dengan harga beli bahan-baku ditingkat petani untuk jenis tanaman yang sama antara satu daerah dengan daerah lain sangatlah mungkin terjadi perbedaan harga yang signifikan. Begitu pula perbedaan upah kerja satu daerah dengan daerah lain (setingkat propinsi) serta besaran pembiayaan pada sisi transportasi-distribusi. Artinya, dalam konteks ini, harga pokok produksi (HPP) pembuatan bioetanol antara satu daerah dengan daerah lain jelas tidak otomatis sama, meskipun menggunakan bahan baku dari tanaman yang sama.

Kebijakan strategis pengembangan produksi bioetanol di Indonesia semestinya terkonsentrasi untuk memproduksi bioetanol guna memenuhi kebutuhan daerah setempat sehingga daerah tersebut dapat mulai mengurangi tingkat ketergantungan pasokan BBM nasional. Seterusnya daerah tersebut mempunyai peluang menjadi kontributor pasokan nasional bilamana produksi bioetanolnya mengalami surplus. Produksi pada tingkat lokal juga memberikan kontribusi bagi penyediaan lapangan kerja sekaligus sebagai sumber pendapatan asli daerah.

Jadi, peluang usaha bioetanol haruslah disikapi dengan memperhatikan potensi daerah dimana pelaku usahanya tinggal berdomisili. Pemilihan bahan-baku produksi bioetanol baiknya lebih disesuaikan dengan kekayaan SDA daerah setempat. Harga singkong di Lampung misalnya akan berbeda dengan harga singkong di Jawa Barat. Begitu pula pembiayaan biaya investasi lahan tanam (plantation) di Jawa Tengah dengan di Maluku Utara, jelas berbeda. Belum lagi elemen upah kerja (UMR) pada setiap daerah jelas berbeda, misalnya antara Sulawesi Utara dan Bali.

Pada akhirnya, pengembangan potensi produksi bioetanol sesungguhnya dapat mengangkat harkat petani dan pelaku usaha mini-mikro berbasis industri rakyat didaerah-daerah dapat berperan sebagai pilar-pilar pertumbuhan ekonomi daerah setempat yang kemudian berkontribusi pada peningkatan ketahanan – kerawanan sosial ketika tidak lagi terlihat antrean panjang masyarakat untuk sekedar membeli dua liter minyak-tanah. Emc2@2009

Mencermati Peluang Bisnis Bioetanol

Sejak periode 2006 yang lalu ketika pemanfaatan bioetanol sebagai energi alternatif (istilah kerennya Bahan Bakar Nabati terbarukan) pengganti Bahan Bakar Minyak (tidak terbarukan) mulai mendapat perhatian dari banyak kalangan di Indonesia, hingga saat ini telah cukup banyak kebijakan pemerintah digulirkan berikut sederet pernyataan optimistik-politis yang intinya diarahkan untuk merangsang, mendukung serta menggalakan berbagai terobosan - inovasi yang berkaitan dengan produksi serta pemanfaatan Bahan Bakar Nabati bagi kepentingan nasional, baik kepentingan pemerintah, pengusaha, maupun masyarakat Indonesia.

Kontan, gayung-pun bersambut. Berbagai pelatihan produksi bioetanol industri rakyat digelar dibanyak tempat, forum-forum diskusi ilmiah bermunculan silih-berganti diberbagai daerah. Informasi penelitian bermunculan dimana-mana, statement departemen dan instansi pemerintah dengan berbagai skema bergulir, hingga issue jumlah alokasi anggaran dikumandangkan kehadapan publik melalui berbagi bentuk media informasi.

Semestinya, iklim ini lebih dari cukup untuk "tervisualisasikan" dalam implentasinya. Namun patut disayangkan jika hingga detik ini “tidak ada” yang bisa terasakan oleh masyarakat. Padahal manfaat bioetanol sangat nyata bagi kita masyarakat Indonesia karena setidaknya dapat menjadi subsitusi dari bahan bakar minyak tanah dan gas misalnya yang terbilang sering turun-naik harga akibat masalah distribusi yang klasik. Pula, bukankah pemerintah kita tidak memiliki energi sehingga lebih dari 20% kebutuhan BBM nasional tidak dapat dapat dicukupi (diproduksi sendiri).

Bahan baku BBN jelas tersedia melimpah, apalagi negeri kita terbilang sangat kaya, bahkan air dan batu saja bisa jadi tanaman, seperti dilukiskan dengan apik oleh Koes Plus yang legendaris itu. Ketersediaan tenaga-tenaga ahli - akademis kita bisa dikatakan dapat memenuhi kuota. Lembaga-lembaga penelitian pemerintah terkait dengan bidang meski tidak cukup banyak tapi masih eksis. Lalu kenapa begitu lambat ya pertumbuhan industri dan pemanfaatan bioetanol di Indonesia? Padahal, dalam kurun waktu hampir tiga tahun ini diperoleh fakta lapangan bahwa bioetanol dapat diproduksi dengan teknologi terapan - tepat guna yang mudah dioperasikan dengan pembiayaan yang sangat murah (jika dibandingkan biaya pembuatan pabrik bioetanol skala kecil yang beranggaran Milyaran rupiah). Ketika pemerintah kehilangan energi untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya, sungguh bijak dan arif rasanya kalo rakyat diminta "bantuannya" untuk diajak turut membangun industri bioetanol dalam negeri ketimbang meminta bantuan pinjaman dari negara-negara lain sebagai donor.

Lebih parah lagi, meski pada skala terbatas, telah diperjual-belikan alat (mesin) produksi bioetanol yang ternyata tidak sesuai spesifikasi yang ditawarkan. Tidak heran bila kemudian banyak dijumpai antusias usahawan-minimikro kita harus merugi dua kali ketika mereka baru saja memulai bisnis bioetanol. Alat produksi yang diadakan tidak sanggup memproduksi bioetanol sesuai spesifikasinya dan alhasil bahan baku yang dimodali tidak dapat menghasilkan produk bioetanol. Terlepas dari prasangka bahwa fenomena tersebut tidak ubahnya dengan tindakan pembodohan ataupun aksi provit-taking yang dari pebisnis iptek kagetan yang tidak memiliki business etic, kejadian-kejadian seperti itu seolah memperkuat opini publik bahwa biaya sekolah dinegeri ini terlalu mahal dan belum tentu lulus (tamat pasti!)

Dengan segala keterbatasan yang ada, blog ini didedikasikan untuk mereka yang ingin dan telah memulai menekuni industri rakyat produksi bioetanol maupun bagi mereka yang berkenan berbagi informasi seputar proses produksi bioetanol, sehingga pada gilirannya masyarakat konsumen dapat memperoleh manfaat dan keuntungan yang sebesarnya dari penggunaan bioetanol. Anda dapat memberikan komentar atas tulisan seadanya ini.

Indonesia telah mengumandangkan era dan mekanisme pasar bebas. Jadi, industri emas hijau tidak layak lagi didominasi pengusaha emas hitam yang nota-bene pengusaha papan atas. Industri emas hijau bisa diekplorasi dari kebun disekitar kita. Artinya, dengan teknologi terapan yang aplikatif berbiaya relatif terjangkau, masyarakat Indonesia kini dapat memproduksi dan memasarkan produk bioetanol untuk utamanya memenuhi kebutuhan sendiri. Emc2@2009