Dari pengalaman temu-bisnis dengan para peminat investasi bisnis industri bioetanol, mulai dari Riau hingga Maluku Utara, dari investor lokal skala rumahan hingga PMA kelas menengah, kerap-kali gambaran diatas jadi issue utama diskusi. Sasaran utama yang sering mencuat kepermukaan umumnya adalah korelasi biaya investasi, modal kerja dan pencapaian BEP. Sasaran antara yang mengikutinya adalah arah transaksi pada tingkat partai atau grosir.
Bioetanol merupakan produk yang memiliki utilitas yang tinggi, karena dapat digunakan pada berbagai industri yang berbeda. Bisa digunakan untuk bahan-baku industri kimia, kosmetik, pharmasi, dan tentunya substitusi BBM. Minyak tanah dan Gas adalah sasaran paling strategis dari pemasaran bioetanol. Konversi minyak tanah ke gas membutuhkan biaya substitusi (termasuk kompensasi distribusi) yang memberatkan konsumen didaerah pinggiran kota dan pedesaaan. Harga kompor gas jauh lebih mahal dibanding kompor etanol. Resiko salah penggunaan kompor gas dan tabung elpiji jauh lebih besar dibanding kompor etanol.
Bisnis bioetanol pada basis industri rakyat (UKM) dan peran subtitusi bioetanol rasanya perlu untuk ditempatkan pada pemahaman yang lebih sederhana, ekonomis dan strategis. Memahami bahwa terdapat pasar potensial yang sangat lebar dan terbuka pada segmentasi bawah - sebagai calon konsumen yang sangat membutuhkan solusi atas keterbatasan BBM dan Gas - akan sangat mebantu dalam menyusun perencanaan bisnis industri rakyat bioetanol. Bahwa sejauh ini, setidaknya untuk sementara waktu, segmentasi menengah-atas adalah kelompok konsumen yang banyak menikmati subsidi BBM dan tidak terlalu dipusingkan dengan issue krisis BBM ataupun Gas, sehingga barangkali belum sepenuhnya ideal untuk menjadi target end-user pada saat ini. Demikian pula pasar institusi seperti industri menengah-atas maupun institusi pemerintahan.
Pada sisi aktifitas operasional, memproduksi bioetanol berkadar 75%, jauh lebih mudah dilakukan yaitu melalui proses destilasi dengan nilai investasi yang relatif terjangkau tetapi sudah sangat layak digunakan untuk kompor etanol. Memasak dengan kompor etanol menggunakan 1 (satu) liter bioetanol berkadar 75% sudah setara dengan 3 (tiga) liter minyak tanah. Dengan indikator perbandingan ini, penetapan harga jual bioetanol dalam hitungan per-liter dapat lebih disesuaikan. Bilamana 20% (saja) dari populasi masyarakat di tingkat kabupaten sebagai konsumennya, putaran omzet per-bulan dari bisnis bioetanol sudah “lumayan menguntungkan” dan fisible.
Masalahnya, banyak calon pebisnis bioetanol cenderung mengesamping aspek investasi pasar dan kurang berperan sebagai pemasar. Fokus senantiasa terarah pada aktifitas penjualan dalam batasan yang cenderung sempit (naif). Beli – Jual – Untung ! Padahal, bisnis mempunyai dimensi ilmu pengetahuan dan seni yang menyatu secara alamiah. Bila setiap aktifitas bisnis begitu mudah untuk "dilakoni", tidaklah heran jika peminatnya begitu cepat bertambah banyak. Konsekuensinya juga logis, keuntungan akan senantiasa bergerak turun. Banyak pebisnis papan-atas hanya kita kenal ketika mereka sukses. Sangat sedikit yang mengenal mereka ketika sedang berusaha membangun bisnisnya, bahkan tidak jarang hingga bertahun-tahun lamanya.
Banyak pakar manajement bisnis mengisyarakatkan bahwa PROFIT tidak lagi didapat dari sekedar hitung keuangan rugi-laba, tetapi berangkat dari seberapa efektif perbedaan dan nilai services yang bisa dirasakan oleh konsumen. Banyak studi kasus telah membuktinya. Sekedar ilustrasi, "bukan siapa yang lebih dulu start, tetapi siapa yang lebih dulu finish. Bukan siapa yang lebih besar, tetapi siapa yang lebih smart". Emc2@2009